Sungguh kadang tak enak menjadi guru, kita dituntut untuk tidak ketinggalan dalam pe- nguasaan ilmu, informasi dan pengetahuan yang dimiliki harus yang terbaru, tidak jarang guru dituntut harus menjadi orang yang serba tahu, menjadi tempat mengadu, meminta restu, dan mencari jawaban atas segala persoalan yang tidak tahu, terutama di masa lalu ataupun di daerah yang belum maju.
Guru juga harus mampu menjadi panutan dan teladan yang layak digugu dan ditiru yang terpancar dalam bertutur, bersikap, dan berperilaku, bahkan pakaiannya pun harus terlihat padu. Guru harus memiliki akhlak bermutu, untuk kecerdasannya kita tak boleh ragu, kepemimpinannya juga haruslah yang layak diadu, moralitasnya juga haruslah kualitas omor atu.
Sungguh sangat banyak yang dituntut dari seorang yang berprofesi sebagai guru, di depan kelas dia harus kreatif dalam meramu dan mengajarkan ilmu agar proses transfer ilmu berjalan sesuai aturan yang berlaku dan peserta didiknya tidak jemu, akhirnya peserta didik pun menjadi lebih tahu, mengerti, memahami, dan akhirnya kelak mereka menjadi orang yang mampu menguasai, mengembangkan, dan menguraikan lmu.
Namun mereka tidak hanya dituntut untuk sekadar mengajarkan ilmu, para guru juga harus tampil sebagai penjaga moral agar anak didiknya tidak membuat malu, bahkan jika ada anak didik yang berbuat saru, melakukan perbuatan yang tak layak ditiru, berbuat tabu, atau gagal dalam menuntut ilmu, sering yang dipojokkan adalah guru karena dinilai gagal dan keliru karena menghasilkan peserta didik yang berkepribadian tak bermutu, ilmu mereka pun tidak sesuai dengan yang dituju.
Beratnya beban guru ditambah lagi dengan kewajiban lain yang mestinya tidak terkait dengan tugas guru, untuk tujuan dan kepentingan tertentu baik kepentingan kelompok atau individu, waktu mengajar mereka sering diganggu. Urusan politik, urusan administrasi, dan urusan birokrasi, serta berbagai intervensi yang sering menyita waktu.
Tentu saja akibat intervensi, kemandirian sebagai guru menjadi sering terganggu, termasuk menentukan keberhasilan dan kelulusan siswa pun menjadi ragu. Apalagi ada intervensi politik yang memaksa guru untuk bersikap dan berperilaku sesuai “lagu” sang penentu.
Ini tentunya kita semua sudah tahu, jika dekat pemilu baik nasional maupun lokal, guru pun dirayu dan dijamu, ada pula yang ditekan dan diancam bertalu-talu, yang tidak mau, bisa merasakan palu yang membuat pilu, kelu, dan ngilu. Ada lagi pekerjaan administrasi yang menghabiskan waktu, guru dianggap layaknya bagian dari birokrasi yang harus terpaku terhadap ramburambu yang sesungguhnya banyak yang tidak perlu.
Beban guru akan lebih seru, karena ada guru yang diharuskan mengajar tidak sesuai bidang ilmu, bahkan ada yang harus mengajar banyak mata pelajaran yang terdiri dari pelbagai bidang ilmu. Tugas harus diterima karena guru yang sesuai tidak ketemu.
Disadari hal tersebut pasti tidak akan menghasilkan proses belajar mengajar yang kurang bermutu, tetapi setidaknya sekolah dan siswa akan terbantu, ibaratnya tak ada madu gunakan sagu, tak ada keju gunakan ubi kayu, tidak obat yang jitu tak apalah gunakan sajalah jamu.
Meskipun berat tugas seorang guru, banyak di antara mereka yang tulus dan ikhlas dalam berbagi ilmu, tanpa ada rasa terpaksa, dengan penuh semangat dan cinta,dengansepenuhhati,dengan tujuan yang satu, membuat anak didik menjadi berilmu, mewujudkan proses pembelajaran bermutu, dan menjadikan dunia
pendidikan lebih maju.
Mereka memiliki moral dan akhlak mulia yang layak di-tiru, jujur dan dapat dipercaya serta membuat peserta didiknya menjadi terpacu dan terpicu. Namun demikian, kita tidak boleh tak mau tahu tentang kehidupan para guru yang masih mengharu biru apalagi bagi mereka yang masih berstatus honorer dengan gaji bulanan yang tidak menentu, bahkan ada yang penghasilannya hanya ratusan ribu, itu pun pembayarannya kadang-kadang tidak melihat waktu.
Namun bukan berarti guru selain honorer nasibnya lebih maju, memang ada yang mampu mengoleksi
berbagai pasang sepatu, ada pula yang sudah mampu membeli kerabu, rumahnya pun ada yang sudah
berdinding batu, mobilnya pun sudah dengan model terbaru, akan tetapi masih banyak membuat hati pilu, ada yang masih tinggal di rumah bambu, untuk menutupi hidup harus bekerja tanpa pandang bulu, jadi tukang kayu, tukang batu, penjahit baju, atau sol sepatu. Jika ada yang sakit atau perlu untuk bekal anak menuntut ilmu, pinjaman pun diburu yang kadang dilakoni dengan taruhan malu.
Jadi wajar saja, jika banyak yang memilih profesi guru, bukan karena panggilan jiwanya yang telah menyatu, tetapi daripada ke mana pun tak laku, daripada jadi pengangguran dengan nasib kelabu, biarlah jadi guru, yang penting ada penghasilan yang ditunggu setiap empat minggu atau mungkin sekali seminggu. Kalau calon gurunya yang seperti itu, jangan harap akan bisa memberi ilmu dengan cara bermutu karena orientasinya hanya mencari pengisi saku. Jangan harap akan menghasilkan lulusan yang berpikiran maju dan punya ide yang jitu, karena bukan itu yang dituju.
Jadi jika ingin dihasilkan guru bermutu untuk mewujudkan pendidikan bermutu, jalan terbaik, kurangilah beban guru, kurangi tekanan psikis dan kurangi tekanan ekonomis, dengar suara hati guru, serta tingkatkan harkat dan martabat guru dengan menaikkan taraf hidup guru, sehingga para guru menjadi leluasa berbagi ilmu, membaca buku, dan berkesempatan menimba ilmu, serta tak terganggu waktu untuk bekerja di luar profesi guru.
Memang sudah ada sertifikasi guru, yang menjamin adanya tunjangan sehingga beban hidup akan terbantu. Akan tetapi tidak semua guru otomatis terbantu, karena urusan proses sertifikasi sungguh sangatlah berliku, para guru diharapkan sabar menunggu.
Oleh karena itu, dalam memperingati hari guru, kita berharap kepada segenap guru, baik yang terpaksa menjadi guru maupun yang sejak awal memang secara tulus ingin mengabdikan diri sebagai guru, tetaplah menjadi guru, tetaplah berperilaku layaknya seorang guru, yang berilmu, yang kepribadian bermutu, dan yang tak pernah ragu untuk berbuat sebatas yang mampu.
Walau sering merasa terharu, walau kadang terasa ngilu, walau lidah terbiasa kelu ketika ada perasaan terganggu, ketika ada yang membuat jemu, ketika ada perlakuan yang pilu, ketika politisasi membuat risau, ketika tugas birokrasi selalu menunggu, tetaplah jadi guru sejati melesatkan peserta didik laksana anak panah yang terus melaju. Janganlah mau diadu, dijadikan perahu, apalagi jadi palu untuk keperluan kelompok tertentu, tetaplah profesional sebagai seorang guru, yang mandiri dan tak mudah tergoda bujuk rayu.
Kalau soal kesejahteraan yang belum menentu, sabar sajalah, kita tak usah ikut-ikutan seperti para benalu yang tidak punya malu dan hatinya telah membatu, tega menggerogoti uang rakyat untuk memuaskan
dahaga semu.
Jadilah sumber ilmu yang melepaskan peserta didik dari belenggu dan tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal dan kaku. Jadilah guru yang terus menerus belajar sehingga menjadi mata air yang tak pernah habis, semakin diambil semakin jernih airnya yang jika mengalir akan tampak bening menyejukkan mata yang memandang dan jika diminum akan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya. Jadilah guru yang selalu dirindu, jadilah guru yang menjadi mutiara bangsaku, selamat hari guru !!!
http://leugeu.wordpress.com/2009/12/23/nasib-seorang-guru/
No comments:
Post a Comment